This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 28 April 2012

Contoh Keterangan/Jawaban DPR Atas Permohonan Pengujian UU Terhadap UUD 1945


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 
REPUBLIK INDONESIA
KETERANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
Terhadap
Permohonan Uji Materiil Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003  tentang Advokat
Dalam Perkara
MAHKAMAH KONSTITUSI
Nomor : 006/PUU-II/2004
 


                                                                                                Jakarta, 6 September 2004

Kepada Yth:
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
DI-
        JAKARTA

Dengan Hormat,
Berdasarkan kuasa pimpinan DPR-RI Nomor HK.00/3381/DPR RI/2004 tanggal 7 Juli 2004, kami yang bertanda tangan di bawah ini:
  1. A. Teras Narang, SH;
  2. Hamdan Zoelva, SH;
  3. H.M. Sjaiful Rachman, SH;
  4. Dwi Ria Latifa, SH;
  5. M. Akil Mochtar, SH, MH;
  6. H. Patrialis Akbar, SH;
  7. Drs. Logan Siagian;
  8. H. Zain Badjeber, SH.
Bertindak untuk dan atas nama DPR-RI memberikan keterangan terhadap Permohonan Uji Materiil Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003  tentang Advokat  dalam perkara di Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004 yang diajukan oleh:
1. Tongat, SH. M.HumPekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Jabatan: Kepala Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum  UMM; Pangkat/Golongan: Lektor/IIIc; Alamat Rumah: Dawuhan RT 16 RW 05 Desa Tegal Gondo, Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang-Jawa Timur;
2. Sumali, SH, MH, Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Jabatan: Sekretaris Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum  UMM; Pangkat /Golongan: Lektor/IIId; Alamat Rumah: Jalan Perum IKIP Tegal Gondo, 3 F/19 Kabupaten Malang-Jawa Timur;
3. A. Fuad, SH,MSi, Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jabatan: Staf Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang; Pangkat/ Golongan: Lektor/IIId, alamat Rumah: Jl. Kelud Gang I Nomor 37 RT 01 RW 01 Desa Pendem Kec. Junrejo Kota Batu-Jawa Timur;

I. MENGENAI SYARAT PERMOHONAN
1. Hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon:
A. Bahwa permohonan diajukan untuk melaksanakan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (1); ayat (2); dan Pasal 28D ayat (1); (3) UUD 1945;
B. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak danlatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yaitu:

  •        perorangan warga negara Indonesia;
  •      kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan  perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;
  •        badan hukum publik atau privat;
  •        lembaga Negara. 

C. Bahwa para pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia, yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (setidak-tidaknya Pemohon I berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20358/A2.IV.I/C/1994 jo. Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan RI No. 045/Kop.VII/C.I/1996) yang menjabat sebagai Staf Laboratorium dan Konsultasi Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, karenanya adalah patut dan layak secara hukum agar pemohon mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk mengajukan pengujian Pasal 31 Undang-undang No. 18 Tahun 2003 terhadap UUD 1945;
2. Syarat Formalitas Permohonan:
a. Bahwa permohonan Pemohon tidak menguraikan dengan jelas tentang hak­hak konstitusional yang dilanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b.  Bahwa permohonan Pemohon mengenai Pasal yang mengatakan bahwa Pasal 31 Undang-undang No. 18 Tahun 2003 adalah bukan hak konstitusional yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Berdasarkan uraian di atas permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 karenanya permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.

II. MENGENAI POKOK MATERI PERMOHONAN
  • Bahwa Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: " Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah;
  • Bahwa ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 merupakan konsekuensi dari rumusan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. warga negara Republik Indonesia;
  2. bertempat tinggal di Indonesia;
  3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat Negara;
  4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh) lima tahun;
  5. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
  6. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan  pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  7. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi;
  •     Bahwa ketentuan Pasal 3 dan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 merupakan persyaratan yang lazim dan perlu bagi setiap profesi, baik berdasarkan keahlian dan ketrampilan, maupun untuk pertimbangan kepastian dan perlindungan kepentingan masyarakat, serta kepentingan negara dalam kaitannya dengan ketentuan larangan jabatan rangkap atau bagi pejabat negara dan pegawai negeri sipil;
  •     Bahwa persyaratan untuk di angkat menjadi Advokat, tidak berarti bertentangan atau tidak dapat dimaknai bertentangan dengan isi rumusan pasal 28C ayat (1); (2); dan pasal 28D ayat (1); (3) UUD 1945, karena persyaratan tersebut tidak lain dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan bahwa (pelaksanaan) hak asasi manusia tidak berarti tanpa pembatasan atau pengaturan, tetapi harus memperhatikan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrartis sebagaimana yang tertuang Pasal 28 J UUD 1945;
  •         Bahwa Undang-undang No. 18 Tahun 2003 mengatur profesi Advokat, bukan mengatur kegiatan Lembaga Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum, oleh karena itu ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tidak dapat dimaknai membatasi apalagi melarang kegiatan pendidikan dan upaya mencerdaskan bangsa yang dilakukan oleh lembaga tersebut di setiap Fakultas Hukum Universitas atau lembaga-lembaga sejenis lainnya;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami berpendapat bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon yang menyatakan bahwa Ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 bertentangan dengan pasal 28C ayat (1); (2); dan pasal 28D ayat (1); (3) UUD 1945 tidak beralasan, karena itu permohonan harus dinyatakan ditolak.
            Demikian keterangan yang dapat disampaikan Dewan Perwakilan Rakyat dalam perkara permohonan hak uji materiil terhadap UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Tim Kuasa
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Dalam Menghadapi Persidangan di Mahkamah Konstitusi

A. Teras Narang, SH                                         Hamdan Zoelva, SH
No. Anggota A                                                    No. Anggota A-265




H.M. Sjaiful Rachman, SH                                Dwi Ria Latifa, SH
No. Anggota A-23                                               No. Anggota A-112




M. Akil Mochtar, SH, MH                                 H. Patrialis Akbar, SH
No. Anggota A-348                                             No. Anggota A-223




Drs. Logan Siagian                                             H. Zain Badjeber, SH
No. Anggota A-499                                             No. Anggota A-28 

Artikel Mengenai Contoh permohonan tentang pengujian

Jumat, 27 April 2012

CONTOH KETERANGAN /JAWABAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UU TERHADAP UUD 1945


KETERANGAN TERTULIS PEMERINTAH
ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 18 TAHUN 2003  TENTANG ADVOKAT
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 YANG TERDAFTAR DI REGISTER MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR : 006/PUU-II/2004
 

           
Kepada Yth:
KETUA/MAJELIS HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA

DI
        JAKARTA

Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini :
Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 09 Juli 2004, dan karena itu sah mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dan selanjutnya dalam keterangan ini disebut Pemerintah.

Bahwa berdasarkan surat panggilan Mahkamah konstitusi No. 99/MK.KA/6/2004 tanggal 30 Juni 2004 telah menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan keterangan secara lisan kepada Majelis Mahkamah Konstitusi atas PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003  TENTANG ADVOKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (UUD 1945) yang dimohonkan oleh:
1.      Tongat, SH, M.Hum, Pemohon I;
2.       Sumali, SH, MH, Pemohon II;
3.      A. Fuad Usfah, SH, Msi, Pemohon III.
Dalam perkara yang terdaftar dalam Buku Register Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004.

Semua keterangan lisan yang disampaikan Pemerintah pada Sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 07 Juli 2004 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keterangan tertulis ini.

Selanjutnya perkenankan Pemerintah menyampaikan keterangan tertulis sebagai berikut:

I. UMUM
            Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menentukan secara tegas bahwa negara indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menentukan : segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa : setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.
              Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum di atas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggungjawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
            Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan salah satu pilar menegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain dalam proses peradilan, peran advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat, terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negoisasi atau dalam pembuatan kontrak dagang, profesi advokat ikut memberi sumbangan yang berarti bagi pemberdayaan masyarakat dan pembaharuan hukum nasional, khususnya dibidang ekonomi dan perdagangan, termasuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
            Dengan demikian, dalam melaksanakan kegiatan penegakan, perlindungan, dan pembelaan Hak Asasi Manusia, serta tugas dan fungsi advokat yang lain, advokat tetap mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam memperjuangkan penghargaan dan penghormatan nilai-nilai hak asasi manusia terhadap siapapun, juga tanpa mengenal jenis kelamin, suku bangsa, tas, agama, dan lain-lain. Sehingga untuk menjadi advokat tidak lagi mengenal diskriminasi, khususnya pembedaan mengenai status kesarjanaan di bidang hukum.
            Di samping hal tersebut tersebut di atas, perlu dijelaskan bahwa UU No. 18 Tahun 2003 dibentuk untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan yang tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku serta sekaligus untuk memberi landasan yang kukuh pelaksanaan tugas advokat dalam kehidupan bermasyarakat. UU tersebut dibentuk juga berdasarkan Pasal 38 UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 tahun 2004. profesi advokat diatur secara lengkap dalam UU tersebut, dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian advokat, baik dalam pengangkatan, pengawasan, penindakan, maupun ancaman pidana bagi setiap orang yang sengaja mengaku-aku sebagai advokat yang bertujuan untuk melindungi advokat dan masyarakat. Secara substansial, hal tersebut merupakan suatu kemajuan yang luar biasa dalam rangka menegakan keadilan dan terwujudkan prinsip-prinsip negara hukum dengan mengedepankan advokat sebagai suatu lembaga yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Wilayah kerja advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia sehingga advokat secara bebas bersaing menentukan dirinya lebih profesional dalam mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum.
            Oleh karena itu, UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat kami pandang sebagai instrumen hukum yang sangat penting untuk melindungi advokat dalam menjalankan tugas dan fungsinya dan masyarakat secara keseluruhan, terutama dalam upaya memberikan jaminan kepastian hukum untuk melaksanakan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa : setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 
II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON    
            Dalam surat permohonan disebutkan beberapa pemohon, yakni:
  • Tongat, SH, M.Hum, Pemohon I;
  • Sumali, SH, MH, Pemohon II;
  • Fuad Usfah, SH, Msi, Pemohon III.

Sesuai dengan ketetentuan Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu:
  • perorangan warga negara Indonesia;
  • kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU;
  • badan hukum publik atau privat;
  • lembaga negara.
Berdasarkan Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi keberadaan pemohon tidak jelas, karena pemohon dalam kapasitas selaku rektor mewakili Universitas Muhammadiyah Malang  dalam surat kuasa khusus tertanggal 7 Maret 2004 (bukti P. 1), terdapat kerancuan pemberian kewenangan dan tanggung jawab untuk melakukan tindakan-tindakan tanpa memuat dengan tegas apakah selaku Rektor yang mewakili Lembaga Konsultasi dan Pelayanan Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang atau perorangan yang mewakili perorangan yang menjalankan profesinya sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang ataupun mewakili jabatan sebagai pimpinan LKPH UMM.
Dengan demikian, permohonan pengujian UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang diajukan pemohon mengandung cacat yuridis, karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
            Berdasarkan keterangan tersebut di atas, kedudukan hukum (legal standing) pemohon UU No. 18 Tahun 2003 tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau cacat hukum, sehingga permohonan pengujian UU No. 18 Tahun 2003 yang diajukan pemohon agar ditolak atau tidak diterima oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi.

III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS ARGUMEN HUKUM PEMOHON MENGENAI HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON YANG DIRUGIKAN DENGAN BERLAKUNYA PASAL 31 UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT
Bahwa pada surat permohonannya, Pemohon yang menyatakan rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 yang berisi ancaman pidana tersebut sangat diskriminatif dan tidak adil serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon, dengan alasan vang pada pokoknya sebagai berikut:
  • Bahwa dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tersebut, pihak Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM, tidak dapat menyelenggarakan lagi aktivitasnya di bidang pelayanan hukum kepada masyarakat baik dalam bentuk Litigasi maupun non Litigasi; Oleh karena Undang-undang Advokat tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum secara murah; Jelasnya Undang-undang Advokat ini hanya mengakui profesi Advokat ansich yang mewakili otoritas di dalam pelayanan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan;
  • Bahwa dengan lahirnya Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu maka seluruh aktivitas LKPH UMM yang dipimpin oleh Pemohon, tidak memungkinkan lagi dijalankan secara reguler dan profesional. Oleh karena aktivitas Pemohon dapat ditafsirkan sebagai kegiatan yang seolah-olah menyerupai profesi Advokat. Penafsiran demikian ini dapat dirujuk pada alinea ketiga bagian Penjelasan UU No. 18 tahun 2003;
  • Bahwa Pemohon berkeyakinan rumusan atau materi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu di buat dalam suasana ephoria reformasi hukum, sehingga melupakan akal sehat (common sense); Lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, yang memberikan pengakuan terhadap eksistensi profesi Advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum, justru mengabaikan fakta historis empiris yang sudah berjalan selama ini, yaitu bahwa Lembaga Perguruan Tinggi Hukum memiliki otoritas untuk menyelenggarakan pendidikan profesi hukum; Sementara itu Pemohon juga berkeyakinan munculnya ketentuan Pasal 31 Undang-­undang Nomor 18 Tahun 2003 lebih dipengaruhi oleh bayangan ketakutan yang tidak berdasar akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki Advokat terutama dari klien yang akan ditanganinya;
  • Bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, maka Pemohon yang saat ini berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum UMM sekaligus menjabat sebagai pimpinan LKPH-UMM merasa dirugikan hak konstitusional Pemohon, yakni berupa hak asasi di dalam hukum dan pekerjaan. Sebagai warga negara yang bekerja di dunia akademik sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun; Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas dicantumkannya ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 secara tegas sangat diskriminatif dan tidak adil, Jelasnya ketentuan tersebut bertentangan dengan isi rumusan Pasal 28 C ayat (1) (2) dan Pasal 28 D ayat (1); (3); serta Pasal 28 1 ayat (2) Perubahan ke 2 UUD 1945;

* Pemerintah tidak sependapat dengan argumen-argumen Pemohon dengan alasan-alasan sebagai berikut:
  •     Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);
Dari ketentuan tersebut terdapat beberapa unsur yang harus dapat dipenuhi agar orang dapat dipidana, yakni:
  1. dengan sengaja;
  2. menjalankan pekerjaan profesi Advokat;
  3. bertindak seolah-olah sebagai Advokat;
  4. tetapi bukan Advokat;
  • Ketentuan di atas hanya ditujukan kepada orang mengaku-aku atau berpura-pura sebagai Advokat atau profesi Advokat, padahal pelaku yang bersangkutan bukan Advokat;
  • Dengan demikian Pemerintah dapat menjelaskan bahwa titik berat Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 adalah mengenai larangan bagi orang yang mengaku-aku sebagai Advokat sedangkan profesi sebenarnya bukanlah Advokat seperti yang diatur oleh Undang-undang ini, bukan bagaimana ia bertugas dan berfungsi sebagai Advokat. Jika yang bersangkutan menjadi Advokat, maka berlaku ketentuan Pasal 3 ayat (1) yakni bahwa yang bersangkutan tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara sehingga pada saat yang bersangkutan diangkat menjadi Advokat, maka ia bukan lagi berkedudukan sebagaimana yang dilarang oleh Pasal 3 ayat (1) tersebut, yang dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan larangan bagi aktivitas yang dilakukan oleh Pemohon dalam Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, yang dikhawatirkan oleh Pemohon;
  • Berkaitan dengan itu Pemerintah dapat menjelaskan pula bahwa ketentuan Pasal 31  UU No. 18 Tahun 2003 tidak ada kaitannya pemberian bantuan hukum murah oleh karena hal tersebut diatur secara tersendiri pada Pasal 22 UU No. 18 Tahun 2003 yang mengatur tentang bantuan hukum cuma-cuma yang diwajibkan kepada Advokat kepada pencari keadilan yang tidak mampu, sedangkan persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma akan di atur Iebih Ianjut dengan Peraturan Pemerintah. Sehingga argumen Pemohon adalah tidak beralasan yang menganggap Undang-undang ini tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum, secara murah. Selain dari pada itu Pemerintah berpendapat bahwa mengenai seluk beluk yang mengatur perguruan tinggi sudah ada ketentuannya secara tersendiri yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
  • Dengan demikian Pemerintah dapat menjelaskan bahwa segala argumen dan fakta selebihnya yang diajukan oleh Pemohon tidak perlu ditanggapi satu persatu karena apa yang disampaikan Pemohon tidak ada relevansinya dan tidak membuktikan adanya pelanggaran hak-hak konstitusional Pemohon;

*    Berdasarkan keseluruhan penjelasan diatas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak melanggar hak-hak konstitusional Pemohon;

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap UUD 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut:

  • Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai Legal Standing;
  • Menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima;
  • Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan.
  • Menyatakan Pasal 31 Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak bertentangan dengan UUD 1945;
  • Menyatakan bawha Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tetap mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku di seluruh wilayah Indonesia;
Atas perhatian Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, kami mengucapkan terima kasih.


                   Jakarta, 20 Agustus 2004
                                                            Kuasa Hukum
                                                            Presiden Republik Indonesia


                                                            Yusril Ihza Mahendra

Kamis, 26 April 2012

CONTOH PERMOHONAN PENGUJIAN UU TERHADAP UUD 1945 (MK)


                       
Perihal                :Permohonan Pengujian Pasal 31 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003  Tentang Advokat Terhadap Undang-Undang Dasar 1945

Kepada Yth.
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Di-Jakarta

Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini:

1.  Tongat, SH. M.Hum,    Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Jabatan: Kepala Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM; Pangkat/Golongan: Lektor/IIIc; Alamat Rumah: Dawuhan RT 16 RW 05 Desa Tegal Gondo, Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang-Jawa Timur;
2. Sumali, SH, MH.           Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Jabatan: Sekretaris Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum  UMM; Pangkat /Golongan: Lektor/IIId; Alamat Rumah: Jalan Perum IKIP Tegal Gondo, 3 F/19 Kabupaten Malang-Jawa Timur;
3. A. Fuad, SH,MSi            Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jabatan: Staf Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang; Pangkat/ Golongan: Lektor/IIId, alamat Rumah: Jl. Kelud Gang I Nomor 37 RT 01 RW 01 Desa Pendem Kec. Junrejo Kota Batu-Jawa Timur;
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus  bertanggal 1 Maret 2004, ketiganya bertindak untuk dan atas nama Drs. Muhadjir Effendy, MAP, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. Untuk selanjutnya telah memilih kediaman hukum (domisili) di kantor Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH)  UMM, Alamat Jl.Raya Tlogomas Nomor 246 Malang-Jawa Timur; Telp. (0341) 464318, 464319. Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon ;
selanjutnya Pemohon dalam hal ini mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 31 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003  Tentang Advokat Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dengan dalil-dalil sebagai berikut: 
1.            Bahwa rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000 000,00 (lima puluh juta) rupiah”.
2.            Bahwa pada bagian Penjelasan UU No. 18 Tahun 2003. Pada alinea ketiga bagian Umum Penjelasan UU Advokat menyebutkan: “Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negoisasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan”.
3.            Bahwa rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 yang berisi ancaman pidana tersebut sangat diskriminatif dan tidak adil, serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon.
4.            Bahwa dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tersebut, pihak Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM, tidak dapat menyelenggarakan lagi aktivitasnya di bidang pelayanan hukum kepada masyarakat, baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi. Oleh karena Undang-undang Advokat tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai peran perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum secara murah.  Jelasnya Undang-undang Advokat ini hanya mengakui profesi Advokat an-sich yang memiliki otoritas di dalam pelayanan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan.
5.            Bahwa pada saat sebelum lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM sebagai institusi nir laba (non profit oriented) telah memainkan peran penting di dalam advokasi hukum kepada masyarakat yang tidak mampu, baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi. Dalam pada itu, legalitas institusi Laboratorium Konsultasi  dan Pelayanan Hukum (LKPH) UMM di dalam menjalankan aktivitasnya di bidang advokasi hukum didasarkan pada Persetujuan Kerjasama antara Pengadilan Tinggi Jawa Timur dengan Universitas Muhammadiyah Malang Mengenai Bantuan Hukum No. 04/KEP/KPT/VIII/2000- No. E.6.J/756/UMM/IX/2000. Namun sejak UU No. 18 Tahun 2003 ini lahir, praktis peran advokasi dari Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM menjadi vacuum. Hal ini disebabkan tidak ada institusi yang ditunjuk secara eksplisit oleh Undang-undang Advokat yang memberi legitimasi kepada perguruan tinggi hukum untuk memberikan Bantuan hukum khususnya bagi golongan masyarakat yang kurang mampu.
6.            Bahwa sebagaimana diketahui bersama, selama ini Pemohon yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum secara personal dan sekaligus secara struktural sebagai pengelola Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM  telah menjalankan proses pendidikan profesi terhadap mahasiswa Fakultas Hukum berdasarkan kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum yang antara lain mewajibkan penyelenggara pendidikan tinggi Hukum untuk melatih ketrampilan hukum mahasiswa melalui kegiatan praktisi hukum atau lebih popular dengan istilah pendidikan hukum klinis.
7.            Bahwa keberadaan Lembaga Bantuan Hukum di Perguruan Tinggi sebagai Laboratorium Hukumnya Fakultas Hukum yang berfungsi untuk melatih praktik kemahiran hukum dan sekaligus berfungsi memberikan pelayanan hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu, adalah sangat sesuai dengan Surat MA No.MA/SEK/034/II/2003 tentang Ijin Praktek Bantuan Hukum Bagi Lembaga Hukum Fakultas/Sekolah Tinggi Hukum yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia.
8.            Bahwa sebagaimana diketahui, berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan nasional, pada Pasal 20 ayat (3) menyebutkan: “Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan vokasi”.  Sementara itu pada Pasal 21 ayat (1) menegaskan “Perguruan Tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya”. Berdasarkan kedua pasal itu, sesungguhnya proses penyelengaraan pendidikan Fakultas Hukum UMM yang sudah terakreditasi oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan status Unggul, secara legal dan absah memiliki otoritas dan kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi hukum.
9.            Bahwa sementara itu dalam rangka mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya bidang Pengabdian Masyarakat sebagai aktualisasi dari Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 yang berbunyi: “Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat”, Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM sejauh ini menerjemahkan amanat tersebut dengan melakukan kegiatan berupa konsultasi, advokasi dan litigasi terhadap berbagai elemen masyarakat yang membutuhkan keadilan (justitiabelen).
10.        Bahwa dengan lahirnya ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu, maka seluruh aktifitas LKPH UMM yang dipimpin oleh Pemohon, tidak memungkinkan lagi untuk dijalankan secara regular dan profesional. Oleh karena aktivitas Pemohon dapat ditafsirkan sebagai kegiatan yang seolah-olah menyerupai profesi Advokat. Penafsiran demikian ini dapat dirujuk pada alinea ketiga bagian Penjelasan UU No. 18 Tahun 2003.
11.        Bahwa implikasi dari hal demikian ini, Pemohon secara psikologis menjadi tidak tenang dan tidak konsentrasi didalam menjalankan profesinya sebagai dosen Fakultas Hukum UMM dan jabatannya sebagai   pimpinan   LKPH UMM. Pada akhirnya beban psikologis ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan proses pendidikan menjadi terganggu dan mengorbankan kepentingan mahasiswa.
12.        Bahwa salah satu bentuk kerugian riil yang pernah dialami oleh LKPH UMM pada saat melakukan pendampingan kepada klien di Kepolisian Resort Malang. Kuasa hukum dari LKPH UMM tidak dapat meneruskan pendampingan klien, disebabkan tidak dapatnya kuasa hukum LKPH menunjukkan identitas Advokat yang diminta oleh  penyidik. Sementara itu izin praktek bantuan hukum yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur sudah habis masa berlakunya.
13.        Bahwa Pemohon berkeyakinan, rumusan atau materi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu dibuat dalam suasana euphoria reformasi hukum, sehingga melupakan akal sehat (common  sense). Lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 yang memberikan pengakuan terhadap eksistensi profesi Advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum,  justru mengabaikan fakta historis empiris yang sudah berjalan selama ini, yaitu bahwa lembaga Perguruan Tinggi Hukum memiliki otoritas untuk menyelenggarakan pendidikan profesi hukum. Sementara itu Pemohon juga berkeyakinan munculnya ketentuan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 lebih dipengaruhi oleh bayangan ketakutan yang tidak berdasar akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki advokat terutama dari klien yang akan ditanganinya. Dengan perkataan lain Undang-undang Advokat ini secara sistematis berusaha mereduksi dan menihilkan peran dan eksistensi pihak-pihak di luar profesi advokat, serta secara transparan dan arogan mewujudkan terjadinya monopoli profesi. Sungguh ironis, jika diingat bahwa profesi advokat yang mengklaim dirinya sebagai officium nobile dan tidak mengedepankan profit oriented, ternyata telah mengkhianati nilai-nilai luhur sikap profesionalisme-nya. Dan yang lebih menyedihkan, justru korban yang dirugikan oleh ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, tidak lain dan tidak bukan adalah lembaga perguruan tinggi hukum yang nota bene telah mengantarkan dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap kaum advokat untuk menjadi sosok profesional melalui proses edukasi hukum selama ini.
14.        Bahwa sangat jelas diketahui pembuatan UU No. 18 Tahun 2003 secara materiil tidak dapat dikategorikan sebagai produk Undang-undang yang baik. Oleh sebab Undang-undang Advokat ini belum memenuhi sejumlah persyaratan ideal, sebagaimana layaknya sebuah peraturan undang-undang yang baik. Buktinya didalam UU No. 18 Tahun 2003 tidak mengakomodasi prinsip pengecualian (exception) sebagaimana dianut didalam system hukum manapun (there is no law without  exception). Sebagai komparasi di dalam sistim perundang-undangan nasional yang ada, dapat diambil sebagai contoh kongkret dianutnya prinsip pengecualian tersebut, yaitu Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak cipta, terutama dapat dilihat pada Pasal 14, 15 dan 16;
15.        Bahwa dengan adanya ketentuan pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, maka Pemohon yang saat ini berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum UMM dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan LKPH UMM merasa dirugikan hak konstitusional Pemohon, yakni berupa hak asasi di dalam hukum dan pekerjaan. Sebagai warga Negara yang bekerja di dunia akademik sekurang-kurangnya selama lebih dari 12 (dua belas) tahun, Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas dicantumkannya ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2003 yang secara tegas sangat diskriminatif dan tidak adil. Jelasnya ketentuan tersebut bertentangan dengan isi rumusan Pasal 28C ayat (1);(2); dan Pasal 28D ayat (1); (3); serta Pasal 28I ayat (2) Perubahan ke-2 UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 28C ayat (1) adalah:” setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan hidup umat manusia”. Sedangkan pada ayat (2) berbunyi: “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Selanjutnya pasal 28D ayat (1) menegaskan: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum”. Sedangkan pada ayat (3) menyebutkan: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Dalam pada itu Pasal 28I ayat (2) menegaskan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
16.        Bahwa dasar permohonan Pemohon untuk mengajukan uji materiil atas Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 terhadap UUD 1945 yang telah Pemohon uraikan tersebut di atas adalah berdasarkan  Pasal 28C ayat (1);(2); dan Pasal 28D ayat (1); (3); serta Pasal 28I ayat (2) Perubahan ke-2 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon agar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 24C UUD 1945 jo. Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berkenan memeriksa permohonan Pemohon dan memutuskan sebagai berikut:
  • Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya.
  • Menyatakan isi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang ancaman pidana terhadap siapapun yang bukan Advokat menjalankan aktivitas atau bertindak seolah-olah Advokat, bertentangan dengan UUD 1945.
  • Menyatakan isi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang ancaman pidana terhadap siapapun yang bukan advokat menjalankan aktivitas atau bertindak seolah-olah Advokat, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM dan atau semua Lembaga Bantuan Hukum di Perguruan Tinggi Hukum di seluruh Indonesia.
  • Mohon keadilan yang seadil-adilnya.

Selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalil dalam permohonan pengujian Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Pemohon telah melampirkan bukti-bukti (terlampir) sebagai berikut:
  • Bukti P-1 :Fotokopi Surat Kuasa Khusus Rektor UMM, Drs. Muhadjir Effendy, MAP.
  • Bukti P-2 :Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor E.2.b/819/UMM/2000 Tentang Pengangkatan tenaga Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Malang atas nama Sumali, SH.
  • Bukti P-3 :Fotokopi surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20358/A.2.IV.1/C/1994, atas nama Tongat, SH.
  • Bukti P-4 :Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor E.2/1651/UM/X/1989 Tentang Pengangkatan tenaga Dosen Universitas Muhammadiyah Malang atas nama Ahmad Fuad, SH, MSi.
  • Bukti P-5 :Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor. 242/SK-ST/VIII/2003 Tentang Pengangkatan Kepala LKPH-UMM atas nama Tongat, SH. M.Hum.
  • Bukti P-6 :Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor. 243/SK-ST/VIII/2003 Tentang Pengangkatan Sekretaris LKPH-UMM atas nama Sumali, SH.MH.
  • Bukti P-7 :Fotokopi Surat Dekan Fak. Hukum UMM Nomor.E.2e/0167/FH-UMM/V/2003 kepada A. Fuad Usfa, SH.M.Si sebagai Koordinator Pembela Umum PKPH/LKPH Fak. Hukum UMM.
  • Bukti P-8 :Fotokopi Statuta Universitas Muhammadiyah Malang Tahun 2001.
  • Bukti P-9 :Fotokopi perpanjangan Persetujuan Kerjasama Antara Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya dengan Universitas Muhammadiyah Malang Mengenai Bantuan Hukum No. 04/Kep/KPT/VII/2000–No. E.6.j/756/ UMM/ IX/ 2000.
  • Bukti P-10 :Fotokopi Surat Mahkamah Agung  RI Nomor: MA/SEK/o34/II/2003.
  • Bukti P-11 :Fotokopi Surat Kuasa sebagai Kuasa Hukum dari Klien LKPH–FH UMM.
  • Bukti P-12 :Fotokopi Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 036/BAN-PT/AK-VII/SI/X/2003 tentang Hasil dan Peringkat Akreditasi program Studi untuk program sarjana di Perguruan Tinggi.
  • Bukti P-13 :Fotokopi Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
  • Bukti P-14 :Fotokopi UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
  • Bukti P-15 :Fotokopi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  • Bukti P-16 :Fotokopi Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
  • Bukti P-17 :Surat tanggal 30 Oktober 2002 Nomor 01./IBBH/2002 dari Ikatan Biro bantuan (IBBH) Perguruan Tinggi Malang perihal Ijin Praktik Instruktur Kemahiran Hukum BKBH/BBH Perguruan Tinggi se Malang.
  • Bukti P-18 :Kesepakatan dan Tuntutan Bersama BKBH/BBH Perguruan Tinggi se-Malang.
  • Bukti P-19 :Fotocopy artikel “Tersandung Pasal ‘Seolah-olah’ dari Majalah Tempo Edisi 12 september 2004.
Demikian permohonan pengajuan Pengujian Pasal 31 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003  Tentang Advokat Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berkenan untuk menerima alasan-alasan pemohon, dan selanjutnya berkenan menguji Pasal 31 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tersebut.

Malang, 10 Maret 2004
Pemohon,

Tongat, SH. Hum

Sumali. SH, MH

Putusan Mahkamah Konstitusi


1.       Pengertian Putusan
            Putusan merupakan pintu masuk kepastian hukum dan keadilan para pihak yang berperkara yang diberikan oleh hakim berdasarkan alat bukti dan keyakinannya. Menurut Gustav Radbruch, suatu putusan seharusnya mengandung idee des recht atau cita hukum yang meliputi unsur keadilan kepastian hukum dan kemanfaatan. Hakim dalam memutuskan secara objektif memberikan putusan dengan selalu memunculkan suatu penemuan-penemuan hukum baru (recht vinding).
            Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat yang berwenang yang diucapkan dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

2.      Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara harus didasarkan pada UUD 1945 dengan berpegang pada alat bukti dan keyakinan masing-masing hakim konstitusi. Alat bukti yang dimaksud sekurang-kurangnya 2 (dua) seperti hakim dalam memutus perkara tindak pidana.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan apakah putusannya menolak permohonan, permohonan tidak diterima atau permohonan dikabulkan. Dalam memutuskan suatu permohonan, Mahkamah Konstitusi harus menempuh musyawarah yang diputuskan hakim konstitusi yang berjumlah 9 (sembilan) orang dalam sidang pleno, yang jika tidak tercapai kata muyawarah maka putusan diambil melalui voting atau suara terbanyak. Hakim konstitusi yang berbeda pendapat tetap dimuat dalam putusan yang sering disebut dissenting opinion.
    
3.      Isi Putusan
Ada tiga jenis putusan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
3.1.    Permohonan tidak Diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard)  
Permohoanan tidak diterima adalah suatu putusan yang apabila permohonannya melawan hukum dan tidak berdasarkan hukum. Dalam putusan ini permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Psal 50 dan 51 UU Mahkamah Konstitusi. Pasal 50 berbunyi “undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945”. Pasal 51 mensyaratkan pemohon adalah pihak menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU dengan kualifikasi pemohon sebagai berikut: (i) perorangan warga negara indonesia, (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI, (iii) badan hukum publik atau privat, dan (iv) lembaga negara.
Pasal 51 mewajibkan juga pemohon dalam permohonannya menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dan menguraikan bahwa pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan UUD 1945 atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalam permohonan tidak diterima maka amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima.
3.2.   Permohonan Ditolak (Ontzigd)
Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila permohonanya tidak beralasan. Dalam hal ini UU yang dimohonkan untuk diuji tidak bertentang dengan UUD 1945 baik mengenai pembentukannya maupun materinya baik sebagian ataupun keseluruhannya, yang dalam amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan materi muatan ayat,  pasal dan/atau bagian UU bertentangan dengan UUD 1945, maka amar putusan juga menyatakan materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945, maka amar putusan juga menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.   
3.3.   Permohoan Dikabulkan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkkan permohonan pemohon wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan sejak diucapkan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah diuji tidak dapat diuji kembali (nebis in idem) yang merupakan asas yang juga dikenal dalam hukum pidana. 

Artikel tentang peran fungsi dan tanggung jawab HRD