Lembaga Mahkamah Konstitusi pertama kali dibentuk di Austria tepatnya pada tahun 1919 yang gagasan pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen. di Indonesia dibentuk dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 ditetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung, sehingga undang-undang ini mengatur pula peralihan dari perkara yang ditangani Mahkamah Agung setelah terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah konstitusi merupakan lembaga yang keberadaanya ditemukan di negara-negara yang telah mapan dalam penyelenggaraanya demokrasinya maupun negara yang mengalami pergeseran kekuasaan dari rezim otoriter ke transisi demokrasi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi di suatu negara banyak perbedaan namun dari segi substansinya terdapat kesamaan yaitu terjaganya konstitusi dan mencegah pemerintahan yang otoriter.
Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia tidak terlepas beberapa faktor. Pertama, pada penyelenggaraan pemerintahan masa lalu dalam masa Orde Lama dan Orde Baru yang bersifat otoriter yang tidak menghomati hak asasi manusia (HAM). Kedua, impilikasi paham konstitusionalisme, ketiga, terciptanya mekanisme checks and balances antar-lembaga negara, keempat penyelenggaran negara yang bersih dan kelima perlindungan HAM. Pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak lain agar tidak terjadi dominasi antara satu fungsi kekuasaan terhadap fungsi lainnya, sehingga diperlukan lembaga yang mengadili adanya sengketa antara lembaga negara dan penyalahgunaan kekuasaan serta terinjaknya konstitusi.
Teori pemisahan kekuasaan dalam arti materiil dalam fungsi-fungsi kenegaraan secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan kepada tiga bagian yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang tidak dianut UUD 1945. UUD 1945 hanya menganut pemisahan kekuasaan dalam arti formil, oleh karena pemisahan kekuasaan tidak dapat dijalankan secara prinsipil. Dengan perkataan lain UUD 1945 hanya mengenal pembagian kekuasaan (division of powers) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power), Pembagian ini tentunya menuntut kekuasaan ke tiga cabang kekuasaan dapat saling berkerjasama dan mengontrol. Pembagian kekuasaan yang malah justru di masa lalu menjadikan eksekutif pemegang kekuasaan absolut.
Dalam UUD 1945 mengatur kekuasaan kehakiman yang kalau dianalisis terdapat prinsip-prinsip judicial independence atau independensi peradilan. Pasal 24 UUD 1945 membagi kekuasaan kehakiman menjadi dua lembaga yaitu di tangan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamsah Agung dengan struktur kekuasaan yang masing-masing telah terbagi seperti yang diatur Pasal 24 (1) dan (2) UUD 1945, yang berbunyi “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan” dan “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Kata merdeka mengandung pengertian tidak ada campur tangan kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam melaksanakan fungsi judusialnya, tetapi tidak pula berarti bahwa kedua lembaga (Mahkamah konstitusi dan Mahkamah Agung) berhak bertindak sewenang-wenang. Tugasnya menafsirkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, dan menciptakan hukum baru pada perkara yang dihadapkan serta untuk memberikan nuansa keadilan bagi setiap warga negara.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi untuk melakukan checks and balances dalam kontruksi konstitusi. Sebagai lembaga pengawas dan penjaga konstitusi dan bagian kekuasaan kehakiman, maka diharapkan Mahkamah Konstitusi mengarahkan semua lembaga termasuk dirinya bergerak pada konstitusionalisme dalam menjalankan tugas, wewenang, kewajiban kedudukan, peran dan fungsinya.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi adalah penciptaan mekanisme yang melindungi warga negara dari tindakan penyelenggara negara yang otoriter untuk menjaga konstitusi. Praktek penjagaan konstitusi pertama kali diperkenalkan oleh John Marshall saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat pada tahun 1803. Ketika itu John Marshall membuat dunia hukum Amerika Serikat bergolak dalam kasus Maguire versus Madisson, John Marshall melakukan pengujian undang-undang negara bagian dengan konstitusi negara federal . Sejak saat itu Mahkamah Agung menjadi penjaga konstitusi. Dalam konteks sejarah Indonesia, pada tahun 1945 perdebatan mengenai pengujian undang-undang sudah muncul dalam perdebatan antara Muhammad Yamin dan Prof Dr Soepomo dalam sidang BPUPKI. Ketika itu Yamin mengusulkan agar Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Ada tiga hal yang bisa jadi pembanding, yakni syariat Islam, hukum adat, dan konstitusi.
Namun hal itu dibantah Soepomo dengan argumentasi Indonesia tidak bisa memberi kewenangan kepada lembaga peradilan untuk membanding undang-undang. Sebab, berdasarkan kesepakatan, Indonesia mengakui supremasi parlemen. Dalam doktrin supremasi parlemen, undang-undang tidak boleh digugat. Kalau ingin melakukan pengujian terhadap undang-undang, perlu ada lembaga yang khusus menangani itu. Soepomo berkaca pada pengalaman negara Eropa yang telah membentuk Mahkamah Konstitusi untuk menguji UU.
UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Bunyi tersebut mengandung arti pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, parlemen dan hukum, maka kelahiran Mahkamah Konstitusi sebuah keniscayaan menegakkan kedaulatan rakyat.
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas dan prinsip demokrasi moderen, maka salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Kebutuhan lembaga Mahkamah Konstitusi karena memang terlalu banyak peraturan perundang-undangan yang menyimpang atau tak sesuai dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Bahkan Mahkamah Konstitusi sebaiknya bisa melakukan penafsiran terhadap UUD 1945, sehingga bisa membantu mengakhiri apabila terjadi perbedaan pendapat mengenai isi konstitusi. Mahkamah Konstitusi menjadi puncak dari penyelesaian kasus problema peraturan perundang-undangan. Sedangkan Mahkamah Agung menjadi puncak untuk penyelesaian perkara pelanggaran perundang-undangan.
Terbentuknya Mahkamah Konstitusi pada pokoknya karena perubahan UUD 1945 yang mengharuskannya, amandemen UUD 1945 mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, misalnya prinsip pemisahan kekuasaan sehingga ada checks and balances sebagai pengganti supremasi parlemen, untuk itu perlu diadakan mekanisme memutus sengketa antar-lembaga negara, perlunya kontrol terhadap keputusan-keputusan politik yang mendasarkan pada prinsip “the rule of majority” dan sengketa hasil Pemilu yang dampaknya luar biasa dalam perjalanan membangun demokrasi di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri berdasarkan pasal 24 UUD 1945 yang terpisah dari Mahkamah Agung, karena Mahkamah Agung merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan Mahkamah Konstitusi lembaga pengadilan hukum (court of law). Konsep court of justice artinya Mahkamah Agung memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum kepada setiap warga negara, sedangkan court of law Mahkamah Konstitusi menegakkan UUD 1945 dari penyimpangan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan keputusan meskipun tidak sepenuhnya karena Mahkamah Agung masih mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 berwenang dan berkewajiban untuk:
-Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-Memutus pembubaran partai politik.
-Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
-Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-Memutus pembubaran partai politik.
-Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Ayat (2) “memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi merupakan pelaksanaan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar-lembaga negara. Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat serta dapat menyelesaikan permasalahan ketetanegaraan .
0 komentar:
Posting Komentar